![]() |
Bangunan bekas sel-sel penjara |
Menginjakkan kaki di kota ini, kota tanpa
pusat-pusat keramaian seperti kota-kota lainnya. Yang ada hanya pasar lokal
yang terdiri dari beberapa tukang penjual sayur mayur, beberapa tenda tempat
penjual pakaian, alat elektronik, peralatan dapur dan beberapa toko sembako.
Kota yang hanya memiliki peninggalan sejarah berupa bekas penjara dan tugu
Mohammad Hatta.
Kota
yang sulit sekali di kunjungi dengan transportasi darat dan air. Berat hati
rasanya mengeluarkan uang banyak untuk membeli tiket pesawat perintis menuju
kota yang jaraknya 410 km ke utara dari Marauke. Boven Digoel, sebuah kota
penuh sejarah yang mulai terlupakan. Berada di ujung wilayah negara kita,
Indonesia.
Mengapa kota yang dahulu layaknya
mati tanpa penghuni kini harus menanggung sejarah pilu tangisan para
pembangkang yang rindu akan kata pulang. Bagaimana bisa kota ini harus
menampung air mata yang jatuh dari para pembangkang yang dibuang. Sejarah itu
dimulai ketika pada 18 November 1926, Raad van Nederlandsch-Indie (Dewan Hindia
Belanda) mengadakan pertemuan luar biasa. Mereka memutuskan untuk membangun
kamp pengasingan bagi pentolan komunis yang berontak pada 12 November 1926.
Lebih dari 1.000 orang yang
kebanyakan berasal dari Jawa dan Sumatera Barat "pemberontak"
dipenjarakan disini. Para pemberontak yang dibuang akan menghadapi mimpi buruk
ketika membayangkan bagaimana mereka akan dibuang ke Digul. Betapa maraknya penyakit
malaria disana. Selain itu juga ada penyakit mematikan lainnya yang begitu
menakutkan yang biasa disebut sebagai black water fever. Tetapi penyakit yang
paling ditakutkan adalah rasa sepi dan jenuh selama berada di pembuangan.
Para pemberontak digul memang
diasingkan. Tetapi tidak seluruhnya dipenjarakan di tembok dingin yang suram.
Kebanyakan dari mereka dibuang ke satu daerah, dan mereka diberi kebebasan
untuk melakukan apapun disana. Mereka hanya perlu membangun rumah untuk
tinggal. Mereka boleh pergi memancing, bertamu kerumah tetangga,
berjalan-jalan, bersantai, dll. Tetapi hal yang paling sulit untuk dilakukan
adalah mencoba kabur. Disekitar pemukiman hanya ada hutan belantara yang amat
menyeramkan, ditakuti dari masa ke masa karena banyaknya hewan buas yang
berkeliaran. Mereka boleh pergi kemanapun asalkan masih dalam radius 30 KM dari kamp. Jika
mereka menghilang, mereka akan dikejar oleh polisi atau serdadu KNIL yang
bertugas, lalu biasanya hilang.
Walaupun disebut sebagai tempat
pembuangan, tetapi Digul juga punya toko, masjid, lapangan bola, dan sekolah.
Sehingga para “pemberontak” dapat memenuhi kebutuhannya. Pemerintah kolonial pun
memberi jatah bahan makanan kepada para buangan, termasuk yang tidak bekerja
untuk pemerintah kolonial. Mereka dijatah beras 18 kg, 1 kg kacang hijau, 2 kg
ikan asin, juga teh dan garam. Mereka yang tidak bekerja untuk pemerintah
kolonial disebut sebagai golongan Naturalis. Sedangkan golongan lainnya disebut
Werkwilig, yaitu orang buangan yang bekerja
pada pusat pelayanan pemerintah dan dibayar 40 sen per hari. Namun, kebanyakan
orang buangan memilih untuk menjadi Naturalis.
![]() |
Tugu Mohammad Hatta |
Walaupun banyak aktifitas yang dapat
dilakukan seperti berolahraga, berenang, memancing, dll. Tetapi akibat sepinya
lingkungan, jauh dari ramainya pusat peradaban dan wilayah industri, membuat
para kaum pergerakan yang keras kepala menjadi kesepian dan merasa jenuh. Jiwa
mereka terguncang, hinggap kerap sekali timbul konflik-konflik dari hal-hal
sepele. Membuat suasana kamp menjadi semakin tidak nyaman.
Pemerintah Kolonial melalui
polisinya dan pejabatnya di Boven Digoel membuat lembaga bernama Rust en Orde
Bewakking (ROB), penjaga ketertiban yang bertugas memata-matai orang-orang
buangan. Mata-mata yang dipilih terdiri dari orang-orang buangan juga. Tugasnya
adalah memerhatikan dan mencatat perilaku dan perkembangan-perkembangan
teman-temannya sesama orang buangan.
Tempat
pembuangan yang dingin, suram, menakutkan, dan tempatnya para tokoh-tokoh
berdoa setiap pagi dan malam, memohon untuk segera pulang, kembali
memperjuangkan tanah airnya, kini hanya tinggal sebuah tanah, tidak ada
bangunan yang bisa mengingat selain penjara dan tugu Mohammad Hatta. Sulit
dijangkau dan jarang diceritakan, semakin menghapus noda-noda air mata tokoh
perjuangan yang tertanam di tanah itu.
Comments
Post a Comment